Rabu, 29 Juni 2011

Kurangi Kebutuhan akan Tetes-tetes Darah

EPO meningkatkan produksi sel-sel darah merah dan bisa mengurangi ketergantungan akan transfusi darah. Namun EPO tidak ditujukan untuk menggantikan transfusi emergensi.
Pada individu yang sehat, ginjal memegang sejumlah peranan vital agar proses kehidupan terus berjalan. Misalnya saja, membuang racun atau sampah pencernaan dari tubuh, mengontrol tekanan darah, memproses vitamin D, dan mengatur produksi sel darah merah. 
Untuk peran terakhir, sebuah hormon glikoprotein (eritropoietin atau EPO) memperoleh mandat dari ginjal untuk menjalankannya. Hormon ini bersirkulasi sepanjang aliran darah menuju sumsum tulang dan menstimulasi produksi sel darah merah. Bila terjadi gagal ginjal, maka produksi EPO terhenti. Alhasil produksi sel darah merah pun turut ngadat yang nanti bisa berujung pada anemia parah.
 Meski pengetahuan tentang sepak terjang eritropoietin itu telah lama diketahui, namun keberadaannya sebagai agen terapi untuk mengatasi gangguan produksi darah merah belum begitu lama dikenal. Bayangkan saja, berdasarkan percobaan transfusi pada kelinci, eksistensi suatu faktor humoral yang mengatur produksi sel darah merah telah sukses dipostulasikan pada 1906. Namun sampai dengan 1950, faktor eritropoietik ini masih belum terindentifikasi. Sepuluh tahun kemudian baru diketahui bahwa faktor ini bersumber dari ginjal.
Setelah sekian lama penelitian dilakukan, barulah pada 1977, T. Miyake, C. K. Kung dan E. Goldwasser dari University of Chicago  berhasil memurnikan EPO dari urin manusia. Sejak saat itu, eritropoietin yang berasal dari protein asli manusia ini mulai digunakan  secara terbatas dalam eksperimen untuk mengobati pasien anemia. Dan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pada 1983 pengodean gen EPO sukses diidentifikasi. Alhasil, EPO pun bisa diproduksi secara masal dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan pada kultur sel mamalia.
Sekarang, hormon yang juga dikenal dengan sebutan hematopoietin atau hemopoietin ini diidentifikasi sebagai suatu glikopritein dengan masa molekul sekitar 30.000 Dalton. Hormon ini memiliki 165 rantai asam amino dengan 4 sisi rantai oligosakarida. Di samping itu, indikasi penggunaannya pun turut berkembang. Kini, EPO tak hanya digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien gagal ginjal kronis, namun juga untuk anemia pada pasien yang menjalani kemoterapi dan antisipasi kehilangan darah pada pembedahan.
Pada prinsipnya, terapi EPO pada pasien tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan mengurangi kebutuhan akan transfusi darah. Namun harus diingat, EPO tidak ditujukan untuk pasien dengan anemia parah yang membutuhkan koreksi secepatnya. EPO tidak ditujukan untuk mengantikan transfusi emergensi.
 
Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
Seperti yang telah disebut diatas, EPO diproduksi di ginjal terutama oleh sel peritubular. Produksi endogen EPO secara normal diatur oleh kadar oksigenasi jaringan. Hipoksia dan anemia biasanya memicu peningkatan produksi eritropoietin yang pada gilirannya menstimulasi eritropoiesis. Pada subjek normal, range kadar EPO plasma berkisar 0,01-0,03 unit/mL dan meningkat hingga 100-1000 kali selama hipoksia atau anemia. Sementara pada pasien gagal ginjal kronis produksi eritropoietin terganggu, sehingga terjadi defisiensi EPO yang bisa menjelma jadi kausal utama dari anemia pada pasien ini. 
 
 
Sumber: http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=252